Hikmah
Pelaksanaan Ibadah Haji dan Umroh
Ibadah Haji dan Umroh merupakan pelaksanaan rukun Islam yang ke lima. Banyak
sekali hikmah yang terkandung di dalamnya. Karena ibadah haji maupun ibadah
umroh adalah wujud dari pertemuan antara kesadaran batin dan kecerdasan rasio.
Setiap orang yang melakukan jenis
ibadah ini pasti punya pengalaman spiritual yang berbeda-beda. Bahkan
kadangkala terlihat tak masuk akal atau di luar perkiraan manusia.
Patuh dan mau menyerahkan diri
kepada Allah SWT. Itulah wujud utama dari pelaksanaan ibadah haji dan umroh di
tanah suci. Kita memenuhi panggilan Allah dengan menempuh perjalanan yang
panjang, memakan biaya yang banyak serta waktu yang lama, dan harus berpisah
dengan saudara, keluarga sera harta benda yang kita miliki.
Tujuannya cuma satu, yaitu
menjalankan tugas mulia melalui ibadah dan ritual sesuai dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan.
Semua jenis ibadah di dalam agama
Islam pasti punya hikmah yang tinggi. Demikian pula dengan ibadah haji dan
umroh. Hikamh dari pelaksanaan ibadah ini antara lain :
1. Meningkatkan kedisiplinan
Ketika di tanah suci Mekkah dan
Madinah, seluruh umat yang melaksanakan ibadah haji dan umroh harus terbiasa
untuk disiplin ketika melaksanakan ritual haji maupun sholat. Pola disiplin ini
di harapkan bisa terus berkelanjutan meski waktu pelaksanaan ibadah sudah
selesai.
2. Meningkatkan kwalitas diri dalam beribadah
Orang yang merasa banyak dosa sering
merasa putus asa. Namun Allah menjanjikan akan menghapus segala dosa yang kita
miliki ketika kita mau melaksanakan ibadah secara tulus dan ikhlas. Hal ini
akan mendorong kita untuk lebih taat menjalankan jenis ibadah yang lain selain
ibadah haji dan umroh.
3. Memunculkan sifat yang sabar
Ketika melaksanakan ritual ibadah
haji dan umroh, tentu banyak cobaan dan godaan yang muncul. Banyak umat Islam
dari berbagi negara yang berkumpul di satu tempat. Hal ini akan menimbulkan
masalah berkenaan dengan fasilitas yang harus digunakan bersama karena
jumlahnya yang terbatas. Di sini sifat sabar harus dikedepankan. Karena sifat
egois dan mementingkan diri sendiri akan mengurangi nilai ibadah yang sedang
dikerjakan.
4. Melahirkan rasa solidaritas dan kekeluargaan
4. Melahirkan rasa solidaritas dan kekeluargaan
Dengan berkumpulnya banyak umat dari
berbagai negara atau daerah, akan menimbulkan rasa persatuan umat yang tinggi,
tanpa membedakan golongan, ras dan lain-lain. Perbedaan yang ada tersebut tidak
perlu menimbulkan perpecahan, namun justru akan membuat ikatan persaudaraan
sesama umat Muslim seluruh dunia makin kuat.
5. Meningkatkan dakwah
Ketika umat Islam dari segela
penjuru dunia berkumpul, akan menjadi media yang tepat untuk meningkatkan
dakwah Islamiyah secara efektif. Di sini kita bisa saling belajar dan bertukar
pengalaman terhadap pelaksanaan ibadah maupun penanaman nilai-nilai Islam di
kehidupan sehari-hari dari masing-masing negara atau wilayah.
Selain lima hikmah dari pelaksanaan
ibadah haji dan umroh di atas, tentu masih ada banyak hikmah yang lain. Setiap
umat pasti punya sudut pandang yang berbeda terhadap pelaksanaan ibadah yang
harus dilakukan di tanah suci ini.
Namun yang terpenting adalah setelah pulang dari berhaji
maupun umroh, umat Islam harus punya pencerahan jiwa
Manfaat dan Keutamaan Ibadah Haji
& Umrah
Segala puji hanya bagi Allah,
shalawat serta salam kita sampaikan kepada Rasulullah, keluarganya dan para
sahabatnya. Berikut ini adalah uraian yang terkandung padanya beberapa
keutamaan dan manfaat ibadah haji. Aku katakan :
Ibadah haji merupakan sebuah ibadah
dari berbagai macam ibadah yang Allah wajibkan. Allah jadikan ibadah ini
sebagai salah satu dari lima pondasi (rukun) yang dengannya akan tegak agama
Islam ini, dan ibadah haji ini juga merupakan sebuah ibadah yang dijelaskan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagaimana dalam
hadits yang shahih:
بني
الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلاَّ الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة
وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج بيت الله الحرام
“Islam dibangun di atas lima
(rukun): (1) Persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar
kecuali hanya Allah dan persaksian bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, (2)
Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Berpuasa pada bulan Ramadhan, dan
(5) Menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.”
Sesungguhnya Rasulullah telah
menunaikan ibadah haji bersama para shahabatnya pada tahun ke-10 Hijriyah.
Dalam momen tersebut, beliau menjelaskan kepada umatnya tentang tata cara
pelaksanaan ibadah ini, dan sekaligus beliau juga memberikan dorongan kepada
umatnya untuk memperhatikan setiap yang diucapkan dan diamalkan oleh beliau
dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Beliau bersabda :
خذوا
عني مناسككم فلعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا
“Ambillah oleh kalian dariku (meniru
tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan manasik kalian,
karena barangkali aku tidak bisa lagi bertemu dengan kalian setelah tahun ini.”
Oleh sebab itulah, haji beliau
tersebut disebut dengan haji wada’ (haji perpisahan).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
juga memberikan semangat kepada umatnya untuk melaksanakan ibadah haji,
menjelaskan tentang keutamaannya, serta menerangkan tentang janji Allah berupa
pahala yang melimpah bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji dengan
sebaik-baiknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من حج
ولم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه
“Barangsiapa yang melaksanakan
ibadah haji, kemudian dia tidak mengucapkan kata-kata yang keji atau kotor
serta tidak berbuat kefasikan, maka dia akan kembali bersih (dari dosa-dosa)
seperti hari ketika dia dilahirkan oleh ibunya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dan beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam juga bersabda:
العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما
والحج المبرور ليس له جزاء إلاَّ الجنة
“Dari umrah yang satu ke umrah
berikutnya adalah sebagai penghapus dosa-dosa di antara keduanya. Dan haji yang
mabrur, tidaklah ada balasan baginya kecuali Al-Jannah.” [Muttafaqun ‘Alaihi,
dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Dsebutkan pula di dalam
Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) juga dari shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan:
سئل
رسول الله صلى الله عليه وسلم أي العمل أفضل؟ قال: إيمان بالله ورسوله، قيل : ثم
ماذا؟ قال: الجهاد في سبيل الله، قيل: ثم ماذا؟ قال: حج مبرور
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah ditanya: ‘Amalan apakah yang paling utama?’ Maka beliau
menjawab: ‘Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Ditanyakan kembali kepada
beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Berjihad di jalan Allah.’ Dan
ditanyakan kembali kepada beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Haji
yang mabrur’.”
Dan di dalam Shahih Muslim
disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Amr bin
Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu ketika dia masuk Islam:
أما علمت أن الإسلام يهدم ما كان قبله
وأن الهجرة تهدم ما كان قبلها وأن الحج يهدم ما كان قبله
“Tidakkah engkau tahu bahwasanya
Islam menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan bahwasanya hijrah
menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan juga bahwasanya haji
menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu.”
Al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahihnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل
أفلا نجاهد؟ قال: لا، ولكن أفضل الجهاد حج مبرور
“Wahai Rasulullah, kami mengetahui
bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, tidakkah kami juga ikut berjihad?”
Beliau menjawab: “Bukan seperti itu, akan tetapi jihad yang paling utama (bagi
wanita) adalah haji yang mabrur.”
Dari hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas dan juga (dalil-dalil) yang lainnya, menjadi jelaslah bagi
kita tentang keutamaan ibadah haji dan betapa besarnya pahala yang telah Allah
persiapkan bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah tersebut. Dan menjadi
jelas pulalah bahwa besarnya pahala yang akan diraih itu adalah hanya bagi
barangsiapa yang ibadah hajinya tergolong haji yang mabrur.
Maka apakah yang dimaksud dengan
kemabruran ibadah haji yang dijanjikan oleh Allah pahala yang cukup besar itu?
Sesungguhnya kemabruran ibadah haji
itu akan diraih dengan beberapa hal, yaitu hendaknya seorang muslim menunaikan
ibadah hajinya dengan sempurna, mengikhlaskan amalannya tersebut semata-mata
untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan ketika menunaikan (manasik)nya sesuai
dengan sunnah (dan tata cara yang pernah diajarkan oleh) Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam.
Dan hendaklah dia menjaga
pelaksanaan ibadah tersebut dengan mengamalkan segala yang diperintahkan oleh
Allah dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya.
Melaksanakan segala yang
diperintahkan (oleh Allah) dan meninggalkan segala yang dilarang (oleh Allah)
sebenarnya merupakan kewajiban seorang muslim sepanjang hidupnya. Akan tetapi
kewajiban ini lebih ditekankan lagi pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu
yang memiliki keutamaan. Karena Allah menciptakan makhluk-Nya adalah agar mereka
beribadah kepada-Nya, yaitu taat kepada-Nya dengan melaksanakan segala yang
diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. Allah
ta’ala berfirman:
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“(Allah) yang menciptakan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik
amalannya.” [Al-Mulk: 2]
Allah ta’ala juga berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ
إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan Jin
dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]
Sehingga seorang muslim itu harus
senantiasa berada di atas ketaatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari
kemaksiatan kepada-Nya, baik di tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji, dan juga
sebelum pelaksanaan ibadah haji ataupun setelahnya. Yang demikian ini adalah
agar akhir kehidupannya ditutup dengan kesempurnaan yaitu dalam keadaan berada
di atas kebaikan. Sehingga akhir hidupnya itu ditutup dalam keadaan baik dan
terpuji, sebagaimana firman Allah ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ
إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian sekali-kali
mati melainkan dalam keadaan Islam.” [Ali ‘Imran: 102]
Dan juga firman Allah ta’ala:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ
الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabbmu
sampai datang kepadamu ‘al-yakin’ (kematian).” [Al Hijr: 99]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
وإنما
الأعمال بالخواتيم
“Sesungguhnya amalan-amalan itu
tergantung pada akhir kehidupannya.”
Dan di antara bentuk kebaikan yang
dengannya akan diraih kemabruran ibadah haji adalah hendaknya bersemangat di
tengah-tengah pelaksanaan ibadah hajinya untuk merenungi rahasia-rahasia dan
pelajaran-pelajaran yang terkandung dalam ibadah haji tersebut dan juga
memperhatikan beberapa manfaat (haji) yang sangat banyak, baik manfaat tersebut
adalah manfaat yang bisa segera dirasakan, maupun manfaat yang baru bisa
dirasakan setelah beberapa waktu kemudian. Secara umum manfaat-manfaat tersebut
telah Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya :
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Berikut ini adalah uraian beberapa
manfaat dan rahasia (haji) sebagaimana yang telah isyaratkan dalam ayat di
atas:
Sesungguhnya ikatan yang terjadi
antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram merupakan ikatan yang sangat
kokoh. Di mana ikatan tersebut mulai tumbuh sejak ia menyatakan diri sebagai
seorang muslim, dan ikatan ini akan terus menerus bersamanya selama ruh masih
berada di kandung badan.
Maka seorang bayi yang dilahirkan
dalam keadaan Islam, pertama kali yang menyentuh pendengarannya dari hal-hal
yang Allah wajibkan adalah rukun Islam yang lima, yang salah satunya adalah
malaksanakan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Dan seorang kafir, apabila dia
(masuk Islam dan) bersaksi dengan persaksian yang benar kepada Allah tentang
keesaan-Nya dan juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah sebagaimana
persaksian yang dilakukan oleh kaum muslimin, maka yang pertama kali diwajibkan
kepadanya dari kewajiban-kewajiban dalam Islam setelah dua kalimat syahadat
adalah menegakkan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Rukun Islam setelah dua kalimat
syahadat adalah menegakkan shalat lima waktu yang Allah wajibkan kepada kaum
muslimin dalam setiap harinya, dan Allah jadikan ‘menghadap ke arah Baitullah
Al-Haram’ sebagai salah satu syarat dari syarat-syarat shalat. Sehingga ikatan
antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram adalah terus-menerus dalam
setiap hari, dia menghadap ke arahnya sesuai dengan kemampuan dirinya dalam
setiap shalat yang dia laksanakan, baik shalat wajib maupun shalat nafilah
(sunnah), sebagaimana dia juga menghadap ke arah Baitullah ketika berdoa.
Hubungan erat yang membuahkan
keterikatan antara hati seorang muslim dengan rumah Rabbnya (Baitullah) yang
bersifat terus menerus ini mau tidak mau akan mendorong seorang muslim untuk
selalu ingin menghadapkan diri kepada Al-Baitul ‘Atiq (Baitullah), agar
dengannya ia merasakan kenikmatan melihat rumah Allah dengan pandangan matanya
dan agar tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji yang telah Allah
wajibkan bagi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya.
Maka bagi seorang muslim, kapan saja
dia telah memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah haji, hendaklah ia
bersegera untuk menunaikannya, sebagai kewajiban yang harus dilaksanakannya,
dan dalam rangka berharap untuk dapat melihat rumah Allah yang ia menghadapkan
wajah ke arahnya di setiap shalat, dan juga dalam rangka berharap agar dapat
menyaksikan berbagai manfaat yang telah Allah diisyaratkan dalam firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Apabila seorang muslim telah sampai
di Baitullah, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri rumah yang paling
mulia dan tempat yang paling suci di muka bumi, yaitu Ka’bah Al-Musyarrafah
(yang dimuliakan), sebagai tempat pertemuan bagi seluruh kaum muslimin di dalam
shalat-shalat mereka, baik kaum muslimin dari belahan bumi timur maupun barat.
Dia pun juga menyaksikan kaum muslimin berdiri mengitari Ka’bah membentuk
formasi lingkaran tatkala melaksanakan shalat, lingkaran paling kecil adalah
yang ada di sekitar (paling dekat) Ka’bah, kemudian lingkaran yang berikutnya
dan seterusnya sampai lingkaran yang terbesar di ujung dunia.
Di dalam shalat-shalatnya, kaum
muslimin senantiasa dalam keadaan menghadap ke arah rumah Allah, mereka seperti
titik-titik yang membentuk lingkaran, baik yang kecil maupun yang besar, dengan
rumah Allah (Ka’bah Al-Musyarrafah) sebagai pusatnya.
Ketika Allah telah memudahkan bagi
seorang muslim untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dan
kemudian ketika ia sampai ke miqat sebagaimana yang telah ditentukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memulai ihram, maka dia pun
melepas semua pakaiannya kemudian menggantinya dengan pakaian ihram yaitu
mengenakan sarung pada bagian bawah tubuhnya dan memakai selempang pada bagian
atasnya kecuali kepala (dalam keadaan kepalanya terbuka).
Maka dalam keadaan pakaian yang
demikian, semua jama’ah haji berada dalam keadaan yang sama. Tidak ada bedanya
antara yang kaya dengan yang miskin, dan juga antara pemimpin dengan rakyat.
Kesamaan mereka dalam keadaan seperti ini mengingatkan kepada kesamaan dalam
memakai kain kafan ketika meninggal dunia. Karena ketika seorang muslim
meninggal dunia, maka semua pakaiannya dilepas kemudian dibungkus dengan
beberapa kain (kafan). Sehingga dalam hal ini tidak ada bedanya antara seorang
yang kaya dengan yang miskin.
Apabila seorang jama’ah haji melepas
pakaiannya kemudian menggantinya dengan pakaian ihram, maka hal ini
mengingatkannya kepada sebuah kematian yang merupakan akhir dari kehidupannya
di dunia ini untuk kemudian memulai kehidupan di akhirat. Sehingga dengan hal
ini, dia akan mempersiapkan dirinya dalam menghadapi kematian yang akan
menjemputnya dengan berbagai amalan yang shalih dan menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat. Persiapan tersebut adalah sebagai bekal bagi dirinya menuju
akhirat, sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
وَتَزَوَّدُواْ
فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa.” [Al-Baqarah: 197]
Oleh sebab itulah, ketika ada
seseorang yang bertanya kepada Nabi: “Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang telah engkau
persiapkan untuk menghadapinya?”
Sebuah peringatan dari Nabi
shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi bahwa sesuatu yang paling penting bagi diri
seorang muslim adalah agar seharusnya dia senantiasa memperhatikan beberapa hal
yang akan dihadapinya setelah kematian. Kemudian dia bersiap-siap menghadapinya
pada setiap keadaannya dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya.
Kemudian apabila seorang muslim
telah masuk pada pelaksanaan ibadah haji, dia akan bertalbiyah dengan
mengucapkan kalimat-kalimat tauhid sebagaimana yang telah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لبيك
اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك
“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah,
aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu yang tidak ada sekutu bagi-Mu,
aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat dan kekuasaan
hanyalah milik-Mu, yang tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Dia mengucapkan talbiyah ini dalam
keadaan dirinya merasakan kandungan kalimat tersebut, berupa tauhid
(mengesakan) Allah dalam ibadah, bahwasanya Allah adalah satu-satu Dzat yang
dikhususkan pada-Nya semua bentuk peribadatan tanpa selain-Nya. Sebagaimana Dia
subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan dan mewujudkan
makhluk, maka wajib untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya Dzat yang
diibadahi tanpa selain-Nya, siapapun dia. Dan memalingkan (mempersembahkan)
salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah merupakan bentuk kezhaliman yang
paling zhalim dan kebatilan yang paling batil.
Kalimat yang diucapkan oleh seorang
muslim tersebut adalah sebagai sambutan terhadap panggilan Allah kepada para
hamba-Nya dalam pelaksanaan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram. Dengannya
seorang muslim akan merasakan betapa agungnya kedudukan Sang Penyeru, yaitu
Allah dan betapa pentingnya sesuatu yang diserukan itu. Sehingga dia berusaha
untuk memenuhi panggilan tersebut sesuai dengan tata cara yang diridhai oleh
Allah ta’ala, dan dia pun mengetahui bahwa inti dari ibadah haji dan juga
ibadah-ibadah yang lainnya adalah
Ikhlas kepada Allah, sebagaimana
yang telah ditunjukkan dalam kalimat tauhid yang terkandung dalam talbiyah di
atas.
Mutaba’ah (mencontoh/mengikuti)
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pelaksanaan manasik
haji, beliau bersabda:
خذوا
عني مناسككم
“Ambillah oleh kalian dariku (meniru
tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan manasik kalian.”
Ketika seorang muslim telah sampai
di Ka’bah yang mulia, dia akan menyaksikan pelaksanaan ibadah thawaf yang ada
di sekitar Ka’bah, yang mana thawaf ini tidak boleh dilaksanakan dalam syarilat
Islam kecuali dikhususkan pada tempat ini saja. Semua bentuk pelaksanaan thawaf
yang dilakukan pada selain tempat ini, maka itu merupakan syari’at dari setan,
serta pelakunya diancam dengan firman Allah ta’ala:
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai
tandingan-tandingan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang
tidak diizinkan oleh Allah?” [Asy-Syuura: 21]
Dia juga akan menyaksikan dicium dan
diusapnya Hajar Aswad dan diusapnya Rukun Yamani. Tidaklah datang dari syari’at
Islam yang menganjurkan untuk mencium atau mengusap batu-batuan atau bangunan
kecuali pada dua tempat (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) ini saja.
Ketika Umar bin Al-Khaththab mencium
Hajar Aswad, beliau menerangkan bahwa perbuatan yang beliau lakukan tersebut
adalah semata-mata mengikuti contoh Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam
tatkala mencium Hajar Aswad. Kemudian beliau mengatakan kepada Hajar Aswad:
ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه
وسلم يقبلك ما قبلتك
“Kalaulah seandainya aku tidak
melihat Nabi menciummu, niscaya aku tidak akan melakukannya.”
Seorang jama’ah haji akan
menyaksikan dalam pelaksanaan ibadah hajinya tersebut pertemuan akbar kaum
muslimin, yaitu pada hari Arafah di padang Arafah, saat para jama’ah haji
berwukuf secara bersama-sama di tempat itu dalam keadaan bertalbiyah dan
bertahlil kepada Allah, memohon kebaikan dunia dan akhirat.
Pertemuan akbar kaum muslimin ini akan
mengingatkan mereka kepada padang mahsyar di hari kiamat yang semua umat
manusia dari awal (zaman) sampai akhir (zaman) bertemu dan berkumpul di tempat
tersebut, menunggu keputusan Allah untuk kemudian mereka menuju tempat tujuan
yang terakhir sesuai dengan amalan-amalan yang mereka kerjakan. Apabila mereka
mengamalkan amalan-amalan yang baik maka akan mendapatkan balasan kebaikan, dan
jika mereka mengamalkan amalan-amalan yang jelek maka akan mendapatkan balasan
kejelekan.
Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam selaku hamba dan utusan Allah, memintakan syafaat kepada Allah
untuk mereka, agar Allah segera memberi keputusan-Nya. Maka Allah pun
memberikan syafaat-Nya (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Itulah
Al-Maqamul Mahmud (kedudukan yang terpuji), yang semua umat manusia mulai dari
awal (zaman) sampai akhir (zaman) memberikan pujian atas beliau. Dan Inilah
yang disebut dengan Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, yang dikhususkan hanya untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada seorang pun yang
memilikinya baik dari kalangan malaikat yang didekatkan maupun para nabi yang
diutus.
Dan dalam pertemuan akbar umat Islam
tersebut, baik di padang Arafah maupun di tempat-tempat pelaksanaan
ibadah haji yang lainnya, kaum muslimin dari penjuru timur dan barat saling
bertemu, mereka saling berkenalan dan memberikan nasehat, serta sebagian mereka
mengetahui keadaan sebagian yang lainnya. Mereka bersama-sama dalam suasana
kegembiraan dan rasa senang, sebagaimana sebagian mereka bersama-sama dengan
sebagian yang lain ketika mengalami sakit, sehingga mereka menunjukkan apa yang
sudah semestinya mereka lakukan kepada orang lain. Dan mereka juga saling
menolong di atas kebaikan dan ketakwaan sebagaimana yang telah Allah ta’ala
perintahkan.
Inilah beberapa (sebagian) manfaat
yang aku sebutkan dari keseluruhan manfaat yang banyak sekali, yang secara umum
telah Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Manfaat terbesar bagi seorang muslim
setelah dia selesai dari pelaksanaan ibadah haji adalah hendaknya ia berusaha
agar ibadah hajinya tersebut diterima, dan hendaknya keadaan dirinya setelah
menunaikan ibadah haji adalah lebih baik daripada sebelumnya. Sehingga dia
berusaha untuk menjadikan ibadah hajinya sebagai langkah awal di dalam
melakukan berbagai perubahan dirinya, baik dalam hal perilaku hidup maupun
amalan-amalan kesehariannya, dia mengubah kejelekan dirinya dengan kebaikan dan
mengubah dirinya dari kebaikan kepada keadaan yang lebih baik lagi.
Dan hanya kepada Allah tempat
memohon semoga Dia memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin agar mereka
diberi kefahaman dalam urusan agama mereka dan kekokohan di atasnya, dan agar
Allah mengokohkan kedudukan kaum muslimin di muka bumi, serta menolong mereka
atas musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penolong
dan Maha Mampu atas itu semua.
وصلى الله وسلم وبارك على عبده
ورسوله نبينا محمد وعلى آله وصحبه
Dikirim Oleh : SYAHRUL IJAJ
KELAS :
IX B
Sumber asli:
http://salafybb.com/index.php/fataawa/131-manfaat-dan-keutamaan-ibadah-haji-umrah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar